Tuesday, 8 March 2016

Mau tidak mau, suka tidak suka, sepertinya di zaman sekarang hampir seluruh makanan yang kita makan setiap hari mengandung Monosodium Glutamat/MSG atau dalam bahasa dapurnya disebut micin atau vetsin. Yang lebih parahnya, seringkali kita tidak menyadari keberadaannya, atau bahkan beranggapan bahwa makanan yang kita makan bebas MSG. Padahal, andai saja kita sudah tahu bahwa hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat, seperti susu, telur, daging, ayam, ikan, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju, termasuk penyedap alami seperti vanili atau daun pandan.

Monosodium Glutamat (MSG) sendiri mulai dikenal sejak tahun 1960-an, tetapi sebenarnya telah memiliki sejarah panjang. Sejak tahun 1963, Jepang bersama Korea mempelopori produksi MSG masal yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri sudah beredar bermacam-macam merek penyedap masakan. Ada Ajinomoto buatan Jepang, Miwon dari Korea, Vetsin keluaran Taiwan, Sasa dari Hongkong, dan beberapa merek lagi. Setidaknya sampai tahun 1997 sebelum krisis, setiap tahun produksi MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun dengan konsumsi mengalami rata-rata sekitar 24, 1 % per tahun.

MSG itu sendiri ditemukan pada tahun 1908 oleh seorang profesor di Universitas Tokyo yang bernama Kikunae Ikeda. Ia menemukan kunci kelezatan pada kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya, yaitu asam, manis, asin, dan pahit dengan umami (dari akar kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat). Sebelumnya di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium glutamat (MSG), tetapi belum tau kegunaannya sebagai penyedap rasa.

Sejak penemuan itu, Jepang memproduksi asam glutamat melalui ekstraksi dari bahan alamiah. Tetapi karena permintaan pasar melonjak, tahun 1956 mulai ditemukan cara produksi L-Glutamic acid secara fermentasi. L-Glutamic acid inilah inti dari MSG, berbentuk butiran putih mirip garam.

Sebenarnya MSG sendiri tidak memiliki rasa. Tetapi bila ditambahkan ke dalam makanan, akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus di otak dan mempresentasikan rasa dasar dalam makanan itu menjadi jauh lebih lezat dan gurih.

Efek Terhadap Manusia
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration (FDA) di Amerika mengelompokkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga tidak perlu aturan khusus. Tahun 1968, muncul laporan di New England Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran China sehingga disebut “Chinese Restaurant Syndrome”, diduga MSG sebagai penyebabnya.

Maka pada tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan. Akan tetapi, laporan-laporan tentang MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome pada tahun 1980 kembali terjadi berupa sakit kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah, yang diketahui bahwa glutamat berperan penting dalam sistem saraf.

Ada 2 kelompok orang punya reaksi berbeda:
>> Pertama, sensitif terhadap MSG sehingga muncul keluhan berupa rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku di otot dari daerah tersebut hingga ke punggung serta diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual dan muntah. Gejala ini disebut MSG Complex Syndrome.

>> Kedua, penderita asma yang meningkat serangannya pasca konsumsi MSG. Bahkan, Prof. H. Aznan Lelo seorang Farmakolog USU dalam sebuah seminar menyebutkan MSG sebagai narkoba terselubung. Seperti narkoba pada umumnya, MSG juga dapat merusak otak dan pikiran manusia serta menyebabkan kecanduan pada pemakainya.

MSG memilik banyak nama lain.
Sebut saja penyedap rasa, hydrolized protein, yeast food, natural flavoring, modified starch, textured protein, autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan istilah-istilah sejenisnya. Bisa jadi makanan yang selama ini kita pikir sehat dan aman dari MSG, ternyata bertabur dengan zat ini.

Jadi, upayakanlah untuk menggunakan penyedap yang alami seperti gula atau daun pandan asli agar masakan yang dimasak tetap sehat.




sumber:

jurnal medis Endhika Sri Syahfitri, S.Farm, Apt

0 comments:

Post a Comment