Beberapa
hari yang lalu penulis membaca sebuah surat terbuka dari seorang ibu yang
memiliki anak korban kekerasan di sekolahnya. Disebutkan di sana bahwa sang ibu
melihat banyak memar di tubuh anaknya, lalu ia bertanya pada pihak sekolah. Tak
disangka-sangka pihak sekolah tidak mau tahu dengan menjawab, “Oh itu mungkin
karena anak ibu kurang bisa bergaul.” jawaban lain datang dari seorang guru,
“Itu karena anak ibu jahil, jadi teman-temannya marah.”
Apabila
dua perkataan itu dibenarkan, apa jadinya masa depan kita? Kita sama saja
menjastifikasi bahwa korban penganiyayan atau lebih dikenal dengan sebutan bullying
itu bersalah karena kurang bisa bergaul atau karena jahil, dan pantas
mendapatkan penganiyayaan dari teman-temannya. Padahal anak-anak tetaplah
anak-anak, mereka belum memahami arti “musyawarah untuk mufakat” yang sedari
dulu digembar-gemborkan di buku pelajaran PPKN sejak kita masih SD. Pihak
sekolah, khususnya gurulah yang sebaiknya memberi lebih banyak perhatian pada
anak-anak bukan hanya di ruangan kelas tapi juga selama berada di lingkungan
sekolah hingga sang anak dijemput kembali oleh orangtua mereka.
Dampak
yang terjadi pada anak bisa dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak
kekerasan jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah fisik antara lain:
lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ, robekan selaput dara,
keracunan, gangguan susunan saraf pusat. Di samping yang lebih parah dapat
terjadi dampak jangka panjang, yaitu seringkali terjadi gangguan emosi atau
perubahan perilaku seperti pendiam, menangis, dan menyendiri. Dan dari segi
fisik dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh di kemudian hari.
Apapun
alasannya, penganiyayaan secara verbal atau fisik yang dilakukan murid kepada
murid lainnya tidak boleh dibenarkan dan harus ditindak lanjuti. Pengawasan di
sekolah diperketat dan guru-guru seharusnya memberikan anak didiknya bukan
hanya ilmu yang ada di buku, namun juga ilmu yang ada di dalam kitab suci.
Karena efek kekerasan pada anak bukan hanya membawa dampak pada fisiknya,
namun juga pada mentalnya, baik langsung terlihat maupun baru akan terlihat
setelah dewasa kelak.
Dalam
kondisi yang lebih parah, penganiyayaan pada anak akan berpengaruh pada
emosionalnya. Kemudian hari anak akan cenderung menjadi tidak percaya diri,
hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi,
psikosomatik, gangguan pengendalian diri, suka mengompol, kepribadian ganda,
gangguan tidur, psikosis, dan penggunaan napza.
Diambil
dari BBC.com, hasil survei di Inggris yang dilakukan oleh Sue Baker yang
bekerja sebagai pakar kesehatan jiwa anak, diketahui bahwa 55% orangtua
ternyata takut untuk membicarakan masalah kesehatan mental pada anak, dengan
alasan tidak mengerti bagaimana caranya dan sebagian lagi menganggap hal itu
tidaklah penting. Hal itu dilandasi rasa percaya para orangtua terhadap
guru-guru di sekolahnya, padahal kenyataan yang telah banyak terkuak lewat
berita, penganiyayaan seringkali luput dari pengawasan pihak sekolah.
Anne
Longfield dari Children's Commisioner for England mengatakan bahwa kekerasan
baik fisik maupun mental akan membawa dampak buruk pada anak, salah satunya
anak anak menjadi minder, murung, kurang bergairah dan tidak malas belajar.
Pada masa anak-anak justru seharusnya menjadi masa paling aktif demi
perkembangan fisik dan mental anak tersebut.
Menjaga
kesehatan mental anak sama pentingnya seperti menjaga kesehatan fisiknya. Bila
kekerasan dan penganiyayaan pada anak-anak tidak segera dihentikan, bukan tidak
mungkin generasi penerus kita nanti akan diisi oleh orang-orang yang gemar
melakukan tindakan kekerasan dan korupsi.
Sumber:
www.sorasirulo.com
0 comments:
Post a Comment