Monday, 7 December 2015

Beberapa hari yang lalu penulis membaca sebuah surat terbuka dari seorang ibu yang memiliki anak korban kekerasan di sekolahnya. Disebutkan di sana bahwa sang ibu melihat banyak memar di tubuh anaknya, lalu ia bertanya pada pihak sekolah. Tak disangka-sangka pihak sekolah tidak mau tahu dengan menjawab, “Oh itu mungkin karena anak ibu kurang bisa bergaul.” jawaban lain datang dari seorang guru, “Itu karena anak ibu jahil, jadi teman-temannya marah.”

Apabila dua perkataan itu dibenarkan, apa jadinya masa depan kita? Kita sama saja menjastifikasi bahwa korban penganiyayan atau lebih dikenal dengan sebutan bullying itu bersalah karena kurang bisa bergaul atau karena jahil, dan pantas mendapatkan penganiyayaan dari teman-temannya. Padahal anak-anak tetaplah anak-anak, mereka belum memahami arti “musyawarah untuk mufakat” yang sedari dulu digembar-gemborkan di buku pelajaran PPKN sejak kita masih SD. Pihak sekolah, khususnya gurulah yang sebaiknya memberi lebih banyak perhatian pada anak-anak bukan hanya di ruangan kelas tapi juga selama berada di lingkungan sekolah hingga sang anak dijemput kembali oleh orangtua mereka.

Dampak yang terjadi pada anak bisa dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Dampak kekerasan jangka pendek terutama berhubungan dengan masalah fisik antara lain: lebam, lecet, luka bakar, patah tulang, kerusakan organ, robekan selaput dara, keracunan, gangguan susunan saraf pusat. Di samping yang lebih parah dapat terjadi dampak jangka panjang, yaitu seringkali terjadi gangguan emosi atau perubahan perilaku seperti pendiam, menangis, dan menyendiri. Dan dari segi fisik dapat mengganggu fungsi tubuh anggota tubuh di kemudian hari.

Apapun alasannya, penganiyayaan secara verbal atau fisik yang dilakukan murid kepada murid lainnya tidak boleh dibenarkan dan harus ditindak lanjuti. Pengawasan di sekolah diperketat dan guru-guru seharusnya memberikan anak didiknya bukan hanya ilmu yang ada di buku, namun juga ilmu yang ada di dalam kitab suci. Karena efek kekerasan pada anak bukan hanya membawa dampak pada fisiknya, namun juga pada mentalnya, baik langsung terlihat maupun baru akan terlihat setelah dewasa kelak.
Dalam kondisi yang lebih parah, penganiyayaan pada anak akan berpengaruh pada emosionalnya. Kemudian hari anak akan cenderung menjadi tidak percaya diri, hiperaktif, sukar bergaul, rasa malu dan bersalah, cemas, depresi, psikosomatik, gangguan pengendalian diri, suka mengompol, kepribadian ganda, gangguan tidur, psikosis, dan penggunaan napza.

Diambil dari BBC.com, hasil survei di Inggris yang dilakukan oleh Sue Baker yang bekerja sebagai pakar kesehatan jiwa anak, diketahui bahwa 55% orangtua ternyata takut untuk membicarakan masalah kesehatan mental pada anak, dengan alasan tidak mengerti bagaimana caranya dan sebagian lagi menganggap hal itu tidaklah penting. Hal itu dilandasi rasa percaya para orangtua terhadap guru-guru di sekolahnya, padahal kenyataan yang telah banyak terkuak lewat berita, penganiyayaan seringkali luput dari pengawasan pihak sekolah.

Anne Longfield dari Children's Commisioner for England mengatakan bahwa kekerasan baik fisik maupun mental akan membawa dampak buruk pada anak, salah satunya anak anak menjadi minder, murung, kurang bergairah dan tidak malas belajar. Pada masa anak-anak justru seharusnya menjadi masa paling aktif demi perkembangan fisik dan mental anak tersebut.

Menjaga kesehatan mental anak sama pentingnya seperti menjaga kesehatan fisiknya. Bila kekerasan dan penganiyayaan pada anak-anak tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin generasi penerus kita nanti akan diisi oleh orang-orang yang gemar melakukan tindakan kekerasan dan korupsi.



Sumber:

www.sorasirulo.com

0 comments:

Post a Comment